SANTRI WASHLUN & KYAI MAJDZUB 21
*Santri Washlun & Kyai Majdzub*
(Part Duapuluh satu)
Oleh : Azizah Maghfiroh
Pahit itu mengobati, sedangkan manis terkadang menyakitkan, itulah ilmu tidak ada istilah kepuasan.
Dan kepuasan itu terletak dalam hati. Bukan banyak nya koleksi kitab-kitab, bukan pula banyak nya hafalan hadits maupun dalil yang tersimpan di memori otak untuk disuguhkan kepada ribuan ummat. Dan sepantasnya, seorang santri harus berani menelan pahit nya ilmu ketika posisi menuntut ilmu dimanapun ia berada, agar supaya agung ngelmune, mewah pituduhe, luas kaweruhe. Dan jangan sekali-kali menyampaikan ilmu dengan bahasa _Tamwiih_ (memules) menggunakan hukum yang ringan dan mudah, karena ummat perlu mengetahui hukum yang sebenarnya / hukum kenyataan. Meski dizaman modern ini, hukum kalah dengan adat budaya. Tantangan zaman semakin tajam, seolah-olah agama bisa disisihkan. Disitulah cobaan bagi ulama' bidang fiqih.
_"Sa' kalimat dadi dilakoni, berjuta kalimat tapi mbuh.. sing dilakoni"_
Kang Wahid yang mengetahui kabar itupun resah dan gelisah tak karuan. Entah kenapa, Ia juga mempunyai firasat buruk kepada Santri Washlun jika memang dilaksanakan tugas itu, maka ancaman nyawa akan mengenai nya.
"Kang,, menurut ku jangan deeh...."
Ucap Kang Wahid.
"Laah pripun Kang Wahid, la wong itu perintah Mbh Yai"
Jawab Santri Washlun dengan santai.
"Wadduh... Bahaya sekali nanti. Sampean tahu kan.. Gus Qodir itu baru pulang jangan nambahi masalah.."
"Kulo namung nderek'aken perintah Mbh Yai"
"Tapiiiii....."
Sahut Kang Wahid sambil melepas kopiah dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Sudahlah Kang, jangan khawatirkan kulo..."
"Bagaimana tidak khawatir...?? Nanti adik ku...????"
"Adik....??, Adik siapa Kang Wahid? Apa hubungan nya kaleh kulo...?"
"Oh.. nggih ngapunten, salah omong nku wau. Ya sudah Kang, kulo ajeng persiapan ngaji sore"
"Monggo...."
Mereka pun berpisah, meninggalkan teka-teki kehidupan. Kang Wahid yang ternyata diam-diam menyimpan rencana indah untuk Santri Washlun kelak dikemudian hari masih tersimpan rapi. Dan Santri Washlun yang menjalani hidup nya dengan jalan _Nrimo ing pandum_ tidak sedikitpun hatinya memiliki sifat was-was / mamang apa-apa yang telah diperintahkan oleh Kyai Majdzub.
Menjelang maghrib Santri Washlun kelaparan, lalu Ia berjalan ke lokasi belakang pondok yang disana banyak tanaman ubi. Salah satunya makanan santri kuno _jaddah_ atau biasa disebut orang jawa timur pohong (singkong). Setelah itu Santri Washlun membakarnya untuk bisa dimakan. Berbeda dengan para santri lain nya, mereka bisa makan, dengan membeli makanan yang enak dengan andalan uang saku kiriman dari orang tua nya.
Suara berkumandang adzan maghrib, Santri Washlun segera kembali ke asrama pondok dan mengikuti jamaah para santri di masjid. Kali ini akan di imami oleh Gus Qodir. Setiba di masjid Santri Washlun selalu merapikan tatanan sandal para santri yang berjamaah. Ia sama sekali tidak keberatan dan malu meskipun diantara mereka terkadang ada yang sengaja menendang atau mencela dengan ucapan yang pahit getir.
Ketika ada sandal yang hilang, Santri Washlun selalu jadi sasaran. Seakan-akan keadilan tidak sama sekali berpihak kepada nya (Santri Washlun). Namun Ia tetap sabar tabah dan menerima apapun yang sudah terjadi.
"Loh.. Den Bagus, ayo masuk, Gus Qodir sampun rawuh"
Ajak Gus Hanafi yang hendak masuk ke Masjid.
"Oh.. Nggih, nki sampun kok Pak"
Balasan senyum Gus Hanafi kepada Santri Washlun itu membuatnya rindu akan masa-masa dahulu. Namun kini semua telah berbeda, Gus Hanafi sudah menajadi orang penting dan super sibuk.
Ketika Gus Qodir sudah rawuh dan menuju tempat pengimaman, banyak sekali diantara mereka para santri yang sendekul (setengah berdiri) untuk bersalaman kepada Gus Qodir.
Selesai berjamaah,
Kang Wahid mengejar Pak Hanafi yang sedang berjalan cepat menuju kantor pengurus untuk memberitahu kabar menyangkut tentang misanan nya tersebut.
"Pak Hanafi, kulo wonten perlu sekedap"
Ucap Kang Wahid sedikit ngos-ngosan.
"Pripun Kang, perlu npo.. monggo ke kantor saja"
"Jangan Pak, di sini aja.. Mumpung agak sepi"
"Ooo... Nggih pun.."
"Nku Pak, Gus Qodir..."
"Kenapa dengan nya??"
Kang Wahid mulai kebingungan hendak menjelaskan dari mana,
"Apa Sampean ingin menemui Gus Qodir??"
Tanya Gus Hanafi
"Mboten Pak, tapi nku..., Sampean tepang Santri Washlun to...?"
"Nggih, sanget... Tapi akhir-akhir nki jarang bertemu, karena tuntutan tugas pondok, dan gak tahu gimana kabar Santri Washlun, semoga selalu baik baik saja"
"Besok... Dia akan menjemput masalah besar Pak..."
"Apa maksud nya...??"
"Tadi pagi, kulo nku dengar bahwa besok malam Santri Washlun mau membakar seluruh kitab nya Gus Qodir.."
"Laa hawlaaa.....!!!
Saestu to...?? Lah pripun kok ajeng dibakar??"
Sontak, Gus Hanafi kaget dan matanya terbelalak tajam.
"Tirose di utus Mbah Yai..."
"Waduh, jelas ini Santri Washlun yang menanggung resiko...!!"
Keduanya pun membisu seakan memikirkan taktik bagaimana cara untuk mencari jalan keluar, demi keselamatan Santri Washlun yang polos nan lugu.
"Huuuuff.... Santri Washlun itu orang nya kenceng lurus, apalagi kalau sudah didawuhi Mbah Yai, meskipun 7 samudra 10 pegunungan menghalangi nya untuk peegi, Ia tetap melaksanakan tugas. Seakan taruhan nyawa pun Ia hiraukan demi Mbah Yai....."
Tutur Gus Hanafi.
"Lalu, apa kita biarkan..."
Di dalam percakapan tersebut, tiada disangka ternyata Gus Hasib mendengarkan dibalik pohon yang tidak jauh dari keberadaan Kang Wahid dan Gus Hanafi.
Pikiran nya mulai licik dan akan merencanakan sesutu agar mereka berdua tidak menghalangi tugas Santri Washlun yang membuat nya semakin menari-nari bahagia.
Dan berfikir bahwa, inilah babak akhir.
"Sudah kita bicarakan dikamar kulo Kang, disini mulai ramai para santri berlalu lalang"
"Oo nggih Pak, tapi nanti setelah mudzakaroh nggih...?"
"Nggih....."
Kemudian pergilah Gus Hasib, karena otak nya seakan sudah kenyang oleh rancangan-rancangan untuk menghancurkan nasib Santri Washlun.
_Al hasudu laa yachsudu_
Ingatlah, bahwasanya orang hasud tidak akan berhasil ilaa yaumil qiyaamah.
17-Januari-2018
16:13
Salam,
*Santri Malang*
🙏🏻😅
(Part Duapuluh satu)
Oleh : Azizah Maghfiroh
Pahit itu mengobati, sedangkan manis terkadang menyakitkan, itulah ilmu tidak ada istilah kepuasan.
Dan kepuasan itu terletak dalam hati. Bukan banyak nya koleksi kitab-kitab, bukan pula banyak nya hafalan hadits maupun dalil yang tersimpan di memori otak untuk disuguhkan kepada ribuan ummat. Dan sepantasnya, seorang santri harus berani menelan pahit nya ilmu ketika posisi menuntut ilmu dimanapun ia berada, agar supaya agung ngelmune, mewah pituduhe, luas kaweruhe. Dan jangan sekali-kali menyampaikan ilmu dengan bahasa _Tamwiih_ (memules) menggunakan hukum yang ringan dan mudah, karena ummat perlu mengetahui hukum yang sebenarnya / hukum kenyataan. Meski dizaman modern ini, hukum kalah dengan adat budaya. Tantangan zaman semakin tajam, seolah-olah agama bisa disisihkan. Disitulah cobaan bagi ulama' bidang fiqih.
_"Sa' kalimat dadi dilakoni, berjuta kalimat tapi mbuh.. sing dilakoni"_
Kang Wahid yang mengetahui kabar itupun resah dan gelisah tak karuan. Entah kenapa, Ia juga mempunyai firasat buruk kepada Santri Washlun jika memang dilaksanakan tugas itu, maka ancaman nyawa akan mengenai nya.
"Kang,, menurut ku jangan deeh...."
Ucap Kang Wahid.
"Laah pripun Kang Wahid, la wong itu perintah Mbh Yai"
Jawab Santri Washlun dengan santai.
"Wadduh... Bahaya sekali nanti. Sampean tahu kan.. Gus Qodir itu baru pulang jangan nambahi masalah.."
"Kulo namung nderek'aken perintah Mbh Yai"
"Tapiiiii....."
Sahut Kang Wahid sambil melepas kopiah dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Sudahlah Kang, jangan khawatirkan kulo..."
"Bagaimana tidak khawatir...?? Nanti adik ku...????"
"Adik....??, Adik siapa Kang Wahid? Apa hubungan nya kaleh kulo...?"
"Oh.. nggih ngapunten, salah omong nku wau. Ya sudah Kang, kulo ajeng persiapan ngaji sore"
"Monggo...."
Mereka pun berpisah, meninggalkan teka-teki kehidupan. Kang Wahid yang ternyata diam-diam menyimpan rencana indah untuk Santri Washlun kelak dikemudian hari masih tersimpan rapi. Dan Santri Washlun yang menjalani hidup nya dengan jalan _Nrimo ing pandum_ tidak sedikitpun hatinya memiliki sifat was-was / mamang apa-apa yang telah diperintahkan oleh Kyai Majdzub.
Menjelang maghrib Santri Washlun kelaparan, lalu Ia berjalan ke lokasi belakang pondok yang disana banyak tanaman ubi. Salah satunya makanan santri kuno _jaddah_ atau biasa disebut orang jawa timur pohong (singkong). Setelah itu Santri Washlun membakarnya untuk bisa dimakan. Berbeda dengan para santri lain nya, mereka bisa makan, dengan membeli makanan yang enak dengan andalan uang saku kiriman dari orang tua nya.
Suara berkumandang adzan maghrib, Santri Washlun segera kembali ke asrama pondok dan mengikuti jamaah para santri di masjid. Kali ini akan di imami oleh Gus Qodir. Setiba di masjid Santri Washlun selalu merapikan tatanan sandal para santri yang berjamaah. Ia sama sekali tidak keberatan dan malu meskipun diantara mereka terkadang ada yang sengaja menendang atau mencela dengan ucapan yang pahit getir.
Ketika ada sandal yang hilang, Santri Washlun selalu jadi sasaran. Seakan-akan keadilan tidak sama sekali berpihak kepada nya (Santri Washlun). Namun Ia tetap sabar tabah dan menerima apapun yang sudah terjadi.
"Loh.. Den Bagus, ayo masuk, Gus Qodir sampun rawuh"
Ajak Gus Hanafi yang hendak masuk ke Masjid.
"Oh.. Nggih, nki sampun kok Pak"
Balasan senyum Gus Hanafi kepada Santri Washlun itu membuatnya rindu akan masa-masa dahulu. Namun kini semua telah berbeda, Gus Hanafi sudah menajadi orang penting dan super sibuk.
Ketika Gus Qodir sudah rawuh dan menuju tempat pengimaman, banyak sekali diantara mereka para santri yang sendekul (setengah berdiri) untuk bersalaman kepada Gus Qodir.
Selesai berjamaah,
Kang Wahid mengejar Pak Hanafi yang sedang berjalan cepat menuju kantor pengurus untuk memberitahu kabar menyangkut tentang misanan nya tersebut.
"Pak Hanafi, kulo wonten perlu sekedap"
Ucap Kang Wahid sedikit ngos-ngosan.
"Pripun Kang, perlu npo.. monggo ke kantor saja"
"Jangan Pak, di sini aja.. Mumpung agak sepi"
"Ooo... Nggih pun.."
"Nku Pak, Gus Qodir..."
"Kenapa dengan nya??"
Kang Wahid mulai kebingungan hendak menjelaskan dari mana,
"Apa Sampean ingin menemui Gus Qodir??"
Tanya Gus Hanafi
"Mboten Pak, tapi nku..., Sampean tepang Santri Washlun to...?"
"Nggih, sanget... Tapi akhir-akhir nki jarang bertemu, karena tuntutan tugas pondok, dan gak tahu gimana kabar Santri Washlun, semoga selalu baik baik saja"
"Besok... Dia akan menjemput masalah besar Pak..."
"Apa maksud nya...??"
"Tadi pagi, kulo nku dengar bahwa besok malam Santri Washlun mau membakar seluruh kitab nya Gus Qodir.."
"Laa hawlaaa.....!!!
Saestu to...?? Lah pripun kok ajeng dibakar??"
Sontak, Gus Hanafi kaget dan matanya terbelalak tajam.
"Tirose di utus Mbah Yai..."
"Waduh, jelas ini Santri Washlun yang menanggung resiko...!!"
Keduanya pun membisu seakan memikirkan taktik bagaimana cara untuk mencari jalan keluar, demi keselamatan Santri Washlun yang polos nan lugu.
"Huuuuff.... Santri Washlun itu orang nya kenceng lurus, apalagi kalau sudah didawuhi Mbah Yai, meskipun 7 samudra 10 pegunungan menghalangi nya untuk peegi, Ia tetap melaksanakan tugas. Seakan taruhan nyawa pun Ia hiraukan demi Mbah Yai....."
Tutur Gus Hanafi.
"Lalu, apa kita biarkan..."
Di dalam percakapan tersebut, tiada disangka ternyata Gus Hasib mendengarkan dibalik pohon yang tidak jauh dari keberadaan Kang Wahid dan Gus Hanafi.
Pikiran nya mulai licik dan akan merencanakan sesutu agar mereka berdua tidak menghalangi tugas Santri Washlun yang membuat nya semakin menari-nari bahagia.
Dan berfikir bahwa, inilah babak akhir.
"Sudah kita bicarakan dikamar kulo Kang, disini mulai ramai para santri berlalu lalang"
"Oo nggih Pak, tapi nanti setelah mudzakaroh nggih...?"
"Nggih....."
Kemudian pergilah Gus Hasib, karena otak nya seakan sudah kenyang oleh rancangan-rancangan untuk menghancurkan nasib Santri Washlun.
_Al hasudu laa yachsudu_
Ingatlah, bahwasanya orang hasud tidak akan berhasil ilaa yaumil qiyaamah.
17-Januari-2018
16:13
Salam,
*Santri Malang*
🙏🏻😅
Lanjut ning....
BalasHapusMakasih yaa
BalasHapusCara membeli novel ini gimana neng dan tempatnya di mana
BalasHapus