AROFA NAFSAH
"AROFA NAFSAH"
Oleh : Azizah Maghfiroh
EPISODE 1
Lahir
Jumat Legi menurut sebagian orang adalah malam yang istimewa dan sakral dalam penanggalan Jawa. karena banyaknya diadakan selamatan dan hajatan-hajatan dalam tradisi orang-orang Jawa.
Pagi itu, di sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Dimas. Bayi itu lahir dari pasangan Bapak Salam dan Ibu Maimunah. Keluarga sederhana yang hidup bahagia.
Sehari-hari Pak Salam hanyalah sebagai pekerja buruh tani, tukang kebun, dan pekerjaan serabutan lain. Ditambah dengan ternak ayam serta memelihara kambing sebagai sampingan untuk ekonomi keluarga tersebut, seperti kebanyakan penduduk desa lainnya.
Sebut saja desa itu Desa Ampel, desa yang jauh dari pendidikan sekolah formal bagi para kaum mudanya, yang ada setiap harinya hanya mengaji di waktu sore, dan paginya menemani orangtua mereka ke kebun atau ke sawah. Adapun mereka menginginkan untuk bersekolah, mereka harus menempuh perjalanan jauh keluar masuk desa.
Desa Ampel adalah daerah yang tak tersentuh tangan penguasa pusat, daerah yang kurang mendapat pandangan mata basah pemimpin, serta daerah yang sulit terjangkau untuk memperbaiki segala fasilitas yang ketinggalan jauh pada zaman itu. Seperti dalam pendidikan, roda perekonomian dan kesejahteraan lainnya yang seharusnya mereka cicipi. Hak-hak tersebut harusnya lebih utama mengarah kepada mereka, karena dari merekalah kita dapat makan. Bukan malah mudahnya kebodohan serta kebohongan menutup harapan mereka yang indah, yang dengan lunak masuk menusuk dalam hidup, memakai jurus lihai Sang Penjilat hak rakyat jelata.
Kelahiran bayi Dimas di Jumat manis, merupakan pertanda yang baik bagi orang tuanya yang menginginkan agar kelak ia menjadi anak sholih yang sangat mengerti dan paham masalah hukum agama dan tatanan kehidupan. Terlebih jika Allah menghendaki menjadi pemimpin dalam negara.
Sebulan setelah kelahirannya, Dimas diajak oleh orang tuanya untuk sowan kepada Mbah Amali. Menumpangi dokar menuju Desa Mantingan. Mbah Amali, namanya sangat dikenal di desa tersebut sebagai tetua desa yang alim, hidup wira’i dan bijak dalam memutuskan perkara kehidupan masyarakat. Beliau juga mempunyai kegiatan mengaji yang dinamakan “Ngangsu Kaweruh”, yang menyuguhkan pengarahan kehidupan bagi masyarakat, agar menjadi manusia berakhlakul karimah seperti yang sudah diajarkan Kanjeng Nabi.
“Hidup itu bukan hanya sekedar ucapan, karena bukti itu akhlak dan nilai itu terpuji.”
“Bu, semoga putra kita, lelaki satu-satunya bisa menjadi pewaris ilmu dan akhlak para leluhur-leluhur terdahulu, ya..!!!” Kata Bapak Salam kepada istrinya di dalam dokar.
“Inggih, Pak, Ibu juga berharap seperti itu.” Jawab istrinya yang menggendong Dimas, dengan menempelkan teteknya pada mulut Dimas. Dimas kecil terlihat begitu tenang, tidak menangis ataupun rewel saat dalam perjalanan menuju ndalem Mbah Amali.
Sampai setibanya di sana,
“Assalamu’alaikum..” Ucap Bapak Salam sesampainya di depan ndalem yang pintunya terbuka, di dalam juga ada beberapa tamu yang baru selesai mengaturkan keluhnya.
“Wa’alaikum salam warohmatullah, silakan masuk, Pak Salam.” Jawab Beliau
“Wonten keperluan nopo sakmeniko ?” Sambung Mbah Amali sambil tersenyum setelah orang tua Dimas masuk ke dalam.
“Ini lho Mbah Amali, mau minta barokah doanya damel putro kulo”
“Oh nggeeh...” Tak berselang lama Mbah Amali mendekati Ibu Maimunah untuk melihat bayinya. Beliau bertanya.“Niki putro Pak Salam yang nomer berapa ?”
“Ini putra saya yang nomer 4 Mbah, yang pertama dulu putri, namanya Dewi, sekarang ikut pamannya, yang kedua putri juga Mbah, namanya Husna dan yang ketiga laki-laki, dia meninggal umur 8 bulan karena sakit Mbah, namanya Zainuddin.” Cerita Pak Salam dengan nada kalem.
Mbah Amali memegang ubun-ubun bayi tersebut, “Bismillah, mugio dadi cah bagus lan ngerti...”
“Aamiin... aaamiiin...”
Ibu Maimunah memberikan bayi itu untuk digendong sebentar oleh Mbah Amali. Beliau berucap“Pak Salam, pesan saya jika sore sudah tiba atau menjelang adzan maghrib, usahakan bayi ini di dalam rumah”
“Robbighfirli wa liwa lidayya warkhamhuma kama Roabbayaa ni shoghiiro.” Doa Beliau dengan mengecup kening bayi itu.
“Iya, Mbah Amali, sendiko dawuh”. Hening seketika. Pak Salam pun akhirnya berpamitan karena melihat tamu yang silih berganti berdatangan. “Kulo nyuwun pamit riyin Mbah”
“Monggo...”
Pertemuan itu hanya sekejab. Namun sudah memberikan kebungahan dalam hati mereka.
Tidak panjang tutur kata, nasihat, dan perkataan. Begitulah Mbah Amali yang kesuwur kewaliannya, namun tak terlihat oleh masyarakat pada umumnya.
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan. Ucap rasa syukur tiada henti. Sujud sembah kepada Sang Illahi di kala sunyi. Kehadiran bayi laki-laki yang sudah lama dinantikan kini telah melengkapi.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih, pengatur segala di alam jagad yang luas ini, aku memohon kepada-Mu, suatu saat nanti, berilah putraku satu ini agar menjadi sosok yang dapat melanjutkan pejuang dan penegak agama-Mu, penerang bagi siapapun yang dekat dengannya, yang hadirnya membawa kedamaian bagi siapapun yang mendengar ucapan serta nasihat-nasihatnya, yang bisa mewarisi hidup zuhud wira’i seperti yang sudah diistiqomahkan para leluhur dahulu.” Begitulah doa sang bapak untuk putranya dalam sujud setelah sholat malam.
Bersambung.....
*Sederhana dengan segala kerendahan hati*
Jangan sampai hati ini terusik dengan manusia yang rakus akan sanjung puji, hidup bermewah-mewah, ambisi selangit, berlomba-lomba untuk tenar nama dan kedudukan...
Segalanya adalah tipuan, segalanya adalah kerugian, dan segalanya itu hanya akan menyesatkan.
Kenapa ambil judul Arofa Nafsah?
Karena isinya tentang perjalanan untuk mengenal dirinya.
Bukan malah memperbudak dirinya!
~Azizah Maghfiroh~
Luar biasa
BalasHapusTrimakasih
BalasHapus