AROFA NAFSAH
"AROFA NAFSAH"
Oleh : Azizah Maghfiroh
EPISODE 2
Masa Kecil
“Jika napasmu tanpa arti
Gengamlah belati dengan jari
Jika ragamu telah pergi
Jangan ingat Aku sampai mati”
Artinya, hidup ini harus berarti. Hidup memiliki arah dan tujuan yang pasti. Agar jejak kita nanti terus abadi.
Masa kecil Dimas terbilang biasa saja, cenderung seperti pada umunya anak kecil desa lainnya. Ia bermain layang-layang, mandi di sungai, jalan-jalan ke sawah seperti si bolang. Tak lupa setiap menjelang sore ia pasti pulang untuk mengaji di kampungnya. Kesehariannya pun terbilang cukup istimewa dalam menemani orang tua, karena ia sangat tekun membantu atau menggantikan mencari rumput, bahkan mengembala kambing bersama teman sebayanya. Terkadang ia juga menemani sang bapak mencangkul atau jika sudah lelah, ia hanya menungguinya di gubuk bambu sambil makan jambu biji yang ia petik di pinggir sawah. Pernah sesekali saking lelahnya, iak ketiduran, malah sampai tertidur pulas hingga dibangunkan oleh bapaknya saat akan pulang.
Dimas kecil diizinkan oleh ibunya keluar rumah saat berusia 7 tahun, dengan syarat harus pulang sebelum adzan maghrib, atau istilah jawanya surup. Dan ketika bermain tak boleh jauh-jauh karena ia adalah putra laki-laki tunggal yang sangat diidamkan orang tua, yang bisa meneruskan kebiasaan budi pekerti yang luhur dari bapaknya.
Pernah suatu waktu, ketika Dimas diperbolehkan mengembala kambing bapaknya hingga terjadi keributan yang cukup serius, karena kambingnya memakan daun singkong milik orang desa. “Hei anak kecil, bangun!! Lihatlah apa yang dilakukan kambingmu…! Kambingmu telah memakan daun singkong di kebunku!” Dengan nada sangat marah orang tersebut membentak.
Saat itu dia memang tertidur di bawah pohon mangga dan membiarkan kambingnya bebas. Sontak saja ia langsung terbangun dari tidurnya, ia kaget karena mendengar suara yang begitu keras. “Loh, maaf pak, ampun pak, saya tidak tau, saya tidak sengaja.” Balas Dimas dengan nada memelas. “Pokoknya kamu harus ganti rugi ini semua, makanya jangan lalai kamu ini...!! Anak siapa sih kamu?” Bentak orang tersebut yang berdiri di depan Dimas. Sedang Dimas hanya duduk bersandar dengan menekuk kedua lututnya dan menundukkan kepalanya pada lututnya, karena saking ketakutannya.
“Saya anak Pak Salam, Pak.” Balasnya dengan mulai sedikit meneteskan air matanya.“Ohh, pantesan! Dasar anak kurang ajar!! Lain kali jangan diulangi lagi, untuk kali ini aku maafkan, tapi kalau di ulangi lagi, kulaporkan ke bapakmu!!” Ucap orang tersebut dengan menuding-nuding pada Dimas, lantas orang itu beranjak pergi. “Iya Pak, iya Pak...” Jawab Dimas dengan isakan tangis yang pelan. Segera ia mengumpulkan 7 kambingnya untuk dibawa pulang. Waktu itu memang sudah memasuki sore hari di mana dia harus segera pulang. Sesudah memasukkan kambingnya di kandang belakang rumah, dia menemui ibunya.
“Bu, tadi aku dimarahi orang, karena aku tertidur saat mengembala kambing. Kambingnya makan daun singkong milik orang desa tidak tahu milik siapa. Tapi dia bertanya aku anak siapa, ya aku jawab jujur,” Ucap Dimas yang menemui ibunya di ruang tengah dengan perasaan bersalahnya.
“Oalah nak, ya sudah. Mulai saat ini jangan mengembala kambing, cari rumput saja, yaa...” Balas ibunya.
“Ya maaf, Bu, Dimas memang siang itu agak lelah.” Ucapnya dengan nada menyesal.
“Ya sudah, cepat mandi sana, keburu bapakmu datang, setelah itu mengaji di musholla sana.” Perintah ibunya kalem.
“Iya, Bu, siap.”
Pergilah Dimas ke kamar mandi di belakang rumahnya, kamar mandi tersebut tidak jauh dari kandang kambing ternaknya, yang hanya bertutupkan klaras pohon kelapa dan bilik-biliknya terbuat dari anyaman bambu. Sebelum mandi pun ia harus menimba air dulu. Memang tubuhnya yang masih kecil itu, sudah terdidik terbiasa mandiri tanpa harus banyak keluhan mengandalkan orang tuanya. Dimas tahu, apakah yang harus ia perbuat , apakah ini tanggung jawabnya, serta apa yang harus ia tunjukkan kepada orang tuanya, agar beliaunya legawa dengan suguhan sikap Dimas. Namun, walaupun Dimas tahu semua itu, ia tak pernah begitu menyadarinya, ia hanya menurut apa yang dikatakan orang tuanya.
“Cetak watak kepribadiaanya sudah terlihat semenjak kecil, karena orang tua yang sangat mendidiknya dari hati ke hati, menyentuh hati kecilnya dilatih kepekaan dan ketanggapan, tanpa perintahnya, ia tahu apa yang harus ia lakukan.”
Sehabis mengaji sore, Dimas segera pulang ke rumah. Sempat ia bertanya-tanya dalam hatinya “Kenapa sih, aku kok dari kecil tidak pernah diizinkan Bapak keluar rumah jika sudah Surup tiba!! Sekedar bermain pun juga tidak boleh. Coba aku tanya pada Ibu sajalah.”
Sesampainya di rumah, ia temui ibunya yang sedang duduk-duduk santai di ruang tamu dengan penerangan obor yang digantung di dinding kayu “Bu, kenapa sih Bapak melarangku keluar rumah kalau sudah maghrib tiba?” Tanya Dimas.
“Ya tanya Bapakmu sana, Ibu tak tahu, nak. bapakmulah yang tahu saat kau disowankan kepada Mbah Amali sewaktu masih bayi.” Kata Ibu sambil meneyeduhkan teh hangat kesukaannya.
Kemudian datanglah bapak beberapa saat setelah mendengar pembicaraan tersebut. Beliau keluar dari ruang pasolatan. Seperti biasanya yang dilakukan beliau adalah mengaji ketika menjelang petang.
“Hehehe... Kamu rupanya ingin tahu beneran apa nak?” kata bapak. “Begini ya, nak, kalau larangan itu kelihatannya sih biasa saja. Setahu Bapak, bahwa hal itu adalah tinggalan perilaku leluhur kepada putra-putrinya yang masih kecil. Ya para leluhur kamu dan ibu, yang terbiasa hidup zuhud dan apa adanya, itu dawuh Mbah Amali, seorang tetua desa itu lho...!! akhirnya Bapak menurut saja, karena Beliau itukan orang yang juga hidup zuhud, sekaligus sudah mempraktekkan dan menularkannya kepada Bapak, dan alhamdulillah sekarang Bapak jadi tahu apa tujuannya tersebut.” Ucap Sang bapak yang seolah menjadi pendongeng dengan mendekati Dimas kecil, sambil menatap tajam matanya, lalu mencium keningnya.
“Apa tujuannya tersebut..?” Tanya Dimas kecil yang penasaran tanpa berkedip. Dia duduk menghadap ibunya.
“Ya alhamdulillah itu tadi nak, hehe...” Senyum tipis seorang Bapak yang bijaksana.
“Tolong dijelaskanlah, Bapak, agar aku tahu, dan juga bisa menirunya sewaktu besar nanti.” Tanya Dimas mengeyel, karena rasa penasaran.
“Perjalanan malam itu waktu paling tepat untuk menyepi”
Batin beliau (sang Bapak) dalam ruangan pasholatan.
“Terlihat jelas betapa besar rasa ingin tahu putraku dengan apa yang belum pernah ia tahu dan juga ia dengar, tanda-tanda kedewasaannya terasah dengan sendirinya, sama seperti waktu kecilku dahulu yang juga banyak ingin tahu. Namun, putraku lebih cerdas dengan apa yang ia tangkap dan ia tanggap, aku memohon kepadaMu Ya Robb, bimbinglah dia di jalan menuju jalan yang Engkau ridhoi, seperti Kakek atau Leluhurnya dahulu.”
Selesai Adzan Maghrib berkumandang dan selepas ia sholat bersama bapak dan ibunya, kegiatan rutin sehari-harinya dengan istiqomah ia dzikirkan, yaitu mengaji. Ia mengaji di ruangan depan dengan penerangan lampu obor yang menyala di penyangga rumah, sampai waktu isya’ tiba, setelahnya berjamaah kemudian tidur dipelukan ibunya. Begitulah gambaran keseharian anak kecil desa tersebut, tak pernah sekali pikirannya tersentuh dunia luar yang membawanya dalam pengaruh akhlak dan kebiasaan tak maslahah. Ia dan hatinya, langsung tersambung dalam naungan bimbingan orang tuanya yang berperan di kesehariannya. Bukan doa saja yang menyertainya, tapi praktek budi pekerti orang tuanya sangat menyentuh hari-harinya.
“Bukan menuruti apa keinginannya, tidak cukup hanya dengan berdoa, tapi kedua orang tuanya telah bersikap dengan apa yang diridhoi oleh Sang Pencipta, sudah sepantasnya cerminan terhadap putranya yang selalu berakhlak luhur, melegakan dan menyenangkan. Alhamdulillah pun menjadi ucapan tanpa sadar bagi siapa orang yang selalu bersyukur dalam keadaan apapun.”
Rumah orang jaman dahulu terbuat dari bilik-bilik bambu. Sederhana namun membawa berkah. Masih jauh dengan kemegahan dunia dan kecanggihan teknologi. Kebahagiaannya adalah berbincang-bincang dengan keluarga.
Dimas kecil bertanya, “Bapak, setiap hari jumat sore itu pergi kemana,? bukankah ke Mbah Amali dengan Mbah Darto?” Tanya Dimas, usai membaca Al-Qur’an yang ada dipangkuannya.
“Iya, nak, setiap jumat sore memang Bapak berangkat jalan kaki bersama beliau untuk mengaji. Awalnya dulu, memang Mbah Dartolah yang mengenalkan Bapak kepada Mbah Amali saat awal Bapak berumah tangga. Kewajiban sebagai seorang Bapak bukanlah bekerja saja, mendidik dalam masalah agamapun wajib, agar hidup punya tatanan pernatan agama. Suatu saat kalau kamu sudah dewasa juga akan mengerti.” Ucap bapaknya yang duduk di depannya sambil minum teh hangat.
“Oalaaah, iya Pak, Dimas mengerti.” Kata Dimas sembari menganggukkan kepalanya.
“Betapa syukurnya aku mempunyai Bapak seperti ini, alhamdulillah. Walau aku masih kecil, perhatian Bapak terasa lebih besar terhadapku. Alhamdulillah Ya Allah. Semoga aku besar nanti juga bisa menjadi seperti Bapak.”
Begitulah sekilas gambaran masa kecil Dimas dan kehidupan keluarga sederhananya. Begitu pun ucapan-ucapan kecil dalam hatinya yang masih belum terbimbing dengan sempurna, maka dari itu ia sempat diinginkan orang tuanya untuk hidup di pesantren ketika sudah menginjak usia remaja. Agar bisa mencicipi begitu ladzatnya saat menimba ilmu di pesantren.
Bersambung.....
Silahkan berkomentar yaa,,, untuk memberikan masukkan...
Trimakasih yang sudah berkunjung:)
Ngapuntene neng khilaf Kulo ningali rambute njenengan
BalasHapus